Nama :
Maskhulatul Laily Styaningastuty
Npm : 44215061
Kelas : 1DA02
PERANAN SYAFRUDDIN DAN ASSAT DIDALAM PEMERINTAHAN
Syariffudin dan assat adalah presiden kedua dan
ketiga sebelum soeharto. Sjafruddin Prawiranegara adalah Pemimpin Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno dan Moh. Hatta
ditangkap Belanda pada awal agresi militer kedua, sedangkan Mr. Assaat adalah
Presiden RI saat republik ini menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat
(1949).
·
Syafruddin
Prawiranegara
Masyarakat Indonesia umumnya hanya mengenal
Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri,
Susilo Bambang Yudhoyono dan yang baru saja dilantik Joko Widodo sebagai Presiden
Republik Indonesia. Padahal, masih ada Presiden asal Banten yakni Syafruddin Prawiranegara
walaupun hanya menjabat 207 hari. Mr. Syafruddin
Prawiranegara atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir
di Serang, Banten, 28
Februari 1911 – meninggal di Jakarta, 15
Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah seorang pejuang
kemerdekaan, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri dan pernah
menjabat sebagai Ketua (setingkat presiden) Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ia menerima mandat dari presiden Sukarno
ketika pemerintahan Republik Indonesia yang kala itu beribukota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19
Desember 1948. Ia kemudian menjadi Perdana Menteri bagi
kabinet tandingan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
di Sumatera Tengah tahun
1958. Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandungpada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum).
Pada tanggal 19 Desember 1948, saat Belanda
melakukan agresi militer II dengan menyerang dan menguasai ibu kota RI saat itu
di Yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh.
Hatta, serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau
Bangka. Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu
terdengar oleh Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat. Untuk mengisi
kekosongan kekuasaan, Sjafrudin mengusulkan dibentuknya pemerintahan darurat
untuk meneruskan pemerintah RI. Padahal, saat itu Soekarno – Hatta mengirimkan
telegram berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada
hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja
atas Ibu Kota Jogjakarta. ika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan
kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.
Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara”. Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI “diproklamasikan”, Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinatenya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang. Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.
Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara”. Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI “diproklamasikan”, Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinatenya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang. Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.
·
Mr Assat
Mr. Assaat (lahir
di Dusun Kampuang nan Limo Kubang
Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera
Barat, 18 September 1904 – meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976 pada umur 71 tahun) adalah seorang politisi
dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia. Assaat belajar di Perguruan Adabiah dan MULO Padang,[1] selanjutnya ke School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA)Jakarta. Merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia
keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS. Dari AMS, Assaat melanjutkan studinya ke Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Masa
kepresidenan: 1949 –
1950 Tanggal
Pengunduran Diri: 1950.
Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
ditandatangani di Belanda, 27 Desember 1949 diputuskan bahwa Belanda
menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri
dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia. Negara bagian
lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain. Karena
Soekarno dan Moh. Hatta telah ditetapkan menjadi Presiden dan Perdana Menteri
RIS, maka berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia. Mr.
Assat menjadi Presiden karena menurut Presiden Soekarno Mr. Assat sebagai
patriot sejati dan dicintai rakyat terbukti dalam sambutannya, Presiden
Soekarno menyatakan bahwa Mr. Assaat dianggapnya sebagai patriot sejati dan
dicintai rakyat daerah Republik Indonesia. Presiden Soekarno yakin bahwa Mr.
Assaat dapat menjalankan tugasnya sebagai Pemangku Jabatan Presiden Republik
Indonesia. Upacara pelantikan ini juga dimaksudkan sebagai sidang istimewa BPKNIP
untuk mengumumkan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta tidak bisa
menjalankan jabatannya karena diangkat sebagai Presiden dan Perdana Menteri
RIS. Mr.assat saat menjadi presiden ingin menjadikan pemerintahan Republik
Indonesia dengan cara berusaha mengembalikan bentuk negara kesatuan dengan
memasukkan usaha tersebut ke dalam program Kabinet Halim. Program kerja Kabinet
Halim ini diantaranya menyelenggarakan supaya pemindahan kekuasaan ke tangan
bangsa Indonesia di seluruh Indonesia terjadi dengan seksama, menyelenggarakan
ketentraman umum supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya terjamin
berlakunya hak-hak demokrasi dan terlaksananya dasar-dasar hak manusia dan
kemerdekaannya. Melalui program kerja kabinet ini, pemerintah Republik Indonesia
berusaha menyatukan kembali seluruh wilayah Indonesia ke dalam naungan negara
kesatuan Republik Indonesia.
Referensi :
0 komentar:
Posting Komentar